Semua bangsa maju di dunia seperti Jerman, Amerika, Jepang, Inggris, Australia dan negara Eropa pada umumnya adalah bangsa yang musikal. Pengertian musikal yang dimaksud disini adalah pertama dapat memainkan instrumen musik atau menyanyi dengan baik, pengertian kedua tidak dapat bermain musik atau menyanyi dengan baik, tetapi dapat mengapresiasikan musik.
Siswa-siswa setingkat kelas 1 – 4 SD di Amerika Serikat mendapatkan pelajaran musik 75 menit setiap minggu, sejak kelas 5 mereka memperoleh pelajaran musik selama 80 menit. Oleh karena itu, mereka sudah dapat membuat koor dengan aransemen-aransemen yang sulit untuk tiga suara dan dapat memainkan beberapa instrumen musik. Di tingkat SLTP mereka memperdalam pelajaran musik pilihan dan mengadakan pertunjukan-pertunjukan. Tingkat SLTA mereka sudah melangkah dengan penekanan pada bentuk konser-konser. Oleh karena itu, mereka sudah mampu menyusun program-program musik yang sangat maju dengan membuat satu atau dua koor gabungan. Sebagian besar sekolah-sekolah di sana memiliki ruangan khusus musik, demikian juga di Australia.
Di Inggris anak usia TK yang berkemampuan membaca di bawah rata-rata, dapat mengejar teman-teman mereka yang di kelompok rata-rata sesudah mereka diperkaya dengan pelajaran musik tambahan, mereka belajar bernyanyi dalam sebuah kelompok melalui latihan ketepatan nada dan irama disertai dengan latihan kepekaan emosi, sebuah program yang sangat berstruktur dan dapat dinikmati anak-anak.
Universitas-universitas di Jepang banyak yang mempunyai orkes Symphony sebagai kelanjutan dari pelajaran musik yang mereka terima di tingkat SD, SLTP dan SLTA.
Begitu pun semua sekolah unggulan memasukkan mata pelajaran musik sebagai materi wajib intrakurikuler dan diperkaya dengan kegiatan ekstrakurikuler, dimana materi pelajaran musik yang diajarkan meliputi musik universal dan musik tradisional, nampaknya hasil pembelajaran siswa-siswa sekolah unggulan pun rata-rata sangat baik.
Namun kurikulum nasional di Indonesia, hanya menekankan perkembangan intelektual semata dan kurang memperhatikan perkembangan kecerdasan emosi. Hal ini tampak dengan banyaknya tawuran pelajaran di tingkat sekolah menengah dan tingkat lanjutan pertama, siswa sekolah dasar terbebani dengan padatnya mata pelajaran yang harus dihafal dan yang harus dikerjakan sehingga pembelajaran menghapus keceriaan anak pada masa perkembangannya.
Menurut peneliti Siegel (1999) ahli perkembangan otak, mengatakan bahwa musik dapat berperan dalam proses pematangan hemisfer kanan otak, walaupun dapat berpengaruh ke hemisfer sebelah kiri, oleh karena adanya cross-over dari kanan ke kiri dan sebaliknya yang sangat kompleks dari jaras-jaras neuronal di otak.
Efek atau suasana perasaan dan emosi baik persepsi, ekspresi, maupun kesadaran pengalaman emosional, secara predominan diperantarai oleh hemisfer otak kanan. Artinya, hemisfer ini memainkan peran besar dalam proses perkembangan emosi, yang sangat penting bagi perkembangan sifat-sifat manusia yang manusiawi.
Kehalusan dan kepekaan seseorang untuk dapat ikut merasakan perasaan orang lain, menghayati pengalaman kehidupan dengan “perasaan”, adalah fungsi otak kanan, sedang kemampuan mengerti perasaan orang lain, mengerti pengalaman dengan rasio adalah fungsi otak kiri. Kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan manusiawi dengan orang lain merupakan percampuran (blending antara otak kanan dan kiri itu).
Proses mendengar musik merupakan salah satu bentuk komunikasi afektif dan memberikan pengalaman emosional. Emosi yang merupakan suatu pengalaman subjektif yang inherent terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati serta mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannya melalui musik sejak masa dini.
Campbell 2001 dalam bukunya efek Mozart mengatakan musik romantik (Schubert, Schuman, Chopin, dan Tchaikovsky) dapat digunakan untuk meningkatkan kasih sayang dan simpati.
Musik digambarkan sebagai salah satu “bentuk murni” ekspresi emosi. Musik mengandung berbagai contour, spacing, variasi intensitas dan modulasi bunyi yang luas, sesuai dengan komponen-komponen emosi manusia.
Suzuki (1987) dalam Utami Munandar mengatakan bila anak dibesarkan dalam suasana musik Mozart sejak dini, jiwa Mozart yang penuh kasih sayang dan disiplin akan tumbuh dalam dirinya. Inilah keajaiban musik.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Peter Salovey dan John Mayer (1990) dalam Shapiro (1997) menerangkan kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan kualitas ini adalah kemampuan mengenali emosi diri. Sternberg dan Salovery dalam Shapiro (1997) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul, dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Dalam hal ini, sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan seperti memilih sekolah, sahabat, profesi sampai kepada pemilihan pasangan hidup.
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara wajar. Misalnya seseorang yang sedang marah maka kemarahan itu tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesali di kemudian hari.
Kepekaan akan rasa indah timbul melalui pengalaman yang dapat diperoleh dari menghayati musik. Kepekaan adalah unsur yang penting guna mengerahkan kepribadian dan meningkatkan kualitas hidup. Seseorang memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka maka ia akan dapat mengambil keputusan-keputusan secara mantap dan membentuk kepribadian yang tangguh. Kemampuan motivasi adalah kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan dan optimisme yang tinggi, sehingga memiliki kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu, misalnya dalam hal belajar. Seperti apa yang kita cita-citakan dapat diraih dan mengisyaratkan adanya suatu “perjalanan” yang harus ditempuh dari suatu posisi di mana kita berada (Point of Departure, POD) ke suatu titik tiba (Point of Arrival, POA) dalam kurun waktu tertentu.
Kemampuan membina hubungan bersosialisasi sama artinya dengan kemampuan mengelola emosi orang lain. Evelyn Pitcer dalam Kartini (1982) mengatakan musik membantu anak-anak untuk mengerti orang lain dan memberikan kesempatan dalam pergaulan sosial dan perkembangan terhadap emosional mereka.
Kemampuan untuk mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul. Melalui belajar kelompok (group) dituntut untuk bekerjasama, mengerti orang lain.
Anak merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, ingin diakui, dan dihargai. Berkeinginan pula untuk dihitung dan mendapatkan tempat dalam kelompoknya. Jelas bahwa individualitas dan sosialitas merupakan unsur-unsur yang komplementer, saling mengisi dan melengkapi dalam eksistensi anak.
Kecerdasan emosional perlu dikembangkan karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyarakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensi anak dapat berkembang secara lebih optimal.
Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional. Daniel Goleman (1995) melalui bukunya yang terkenal “Emotional Intelligences (EQ)”, memberikan gambaran spectrum kecerdasan, dengan demikian anak akan cakap dalam bidang masing-masing namun juga menjadi amat ahli. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli, perkembangan kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh rangsangan musik seperti yang dikatakan Gordon Shaw (1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar