Senin, 01 Agustus 2011

Jejak Langkah Jazz di Indonesia


Menelusuri sejarah jazz di Indonesia memang agak sulit. Sebab, selain terdapat banyak pendapat yang berbeda tentang siapa, kapan, dan di mana musik jenis ini muncul di Indonesia, pelaku-pelaku langsungnya sendiri yang bisa dijadikan sebagai narasumber juga sudah tidak ada. 
Menurut Sudibyo Pr, seorang pencinta jazz dan penulis buku tentang musik jazz, konon pemain musik jazz pribumi dari Indonesia pertama kali adalah orang Aceh. Ia juga mengatakan bahwa di negeri ini orang Indonesia yang pertama kali memainkan musik jazz adalah tentara. Para tentara itu biasanya dipanggil untuk menghibur pejabat-pejabat Belanda dan orang-orang Indonesia yang haknya disamakan oleh orang Belanda. Waktu itu, mereka bermain musik jazz di Societet. Padahal,  tidak banyak orang Indonesia yang bisa memasuki gedung itu. 
Sementara itu, ada pula yang menyebut bahwa jazz masuk ke Indonesia pada waktu yang bersamaan dengan merebaknya jazz di New Orleans, Amerika, pada tahun 1900-an. Dan pada tahun 1920, tercatat ada band bernama Black & White di bawah pimpinan seorang musikus yang nasionalis, yakni Wage Rudolf Supratman. Band tersebut terbentuk dan bermain di Kota Makassar. Sedangkan di Jakarta, pada tahun 1930-an, juga ada sebuah grup bandberaliran jazz bernama Melody Makers yang dimotori oleh Jacob Sigarlaki. Waktu itu, Jacob didukung oleh musisi lain seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, serta Tjok Sinsu. 
Tapi ada juga yang mengatakan bahwa jazz pertama kali dimainkan di Indonesia pada tahun 1922. Sebab, di tahun tersebut, ada seorang pemain saksofon dari Belanda yang datang ke Indonesia dengan kawan-kawannya lalu membuat band. Waktu itu, band tersebut dianggap sebagai band jazz yang pertama di Indonesia. Hampir 80% personel band itu adalah orang Indo-Belanda, sedangkan yang pribumi sedikit sekali. 
1940-an Hingga 1960-an 
Lalu, di tahun 1940-an, Hein Turangan juga membentuk grup band jazz bernama Jolly Strings di Jakarta. Di era 1940-an itu, muncul pula seorang kritikus jazz bernama Harry Liem yang aktif menulis di koran Jazz Wereld. Tapi setelah selesai Perang Dunia II, Harry Liem pindah ke Amerika dan meneruskan karirnya sebagai penulis jazz di sana. 
Pada pertengahan tahun 1950-an ada seorang pemain piano bernama Nick Mamahit yang merilis album “Sarinande”. Waktu itu Nick didukung oleh Bart Risakotta (drum) dan Jim Espehana (bass). Ada yang menyebut album “Sarinande” dianggap sebagai tonggak rekaman musik jazz di Tanah Air. 
Di seputaran dekade 60-an, jazz Indonesia juga meramaikan tempat-tempat hiburan malam seperti bar atau kafe. Dari lingkungan tersebut, muncullah multi-instrumentalis, Bill Saragih, yang kemudian melakukan perjalanan ke beberapa negara di Asia hingga Amerika. Bill Saragih antara lain dikenal lewat kelompok The Jazz Riders. Grup ini pada awalnya dibentuk oleh Didi Pattirane. Tapi setelah Didi Pattirane pindah ke New York, grup ini diteruskan oleh Didi Tjia dan Bill Saragih. 
Di tahun 1960-an pula terjadi pergolakan politik di dalam negeri dan hal itu sedikit banyak mempengaruhi perkembangan musik jazz di Indonesia. Pada tahun-tahun tersebut, jazz dimainkan secara sembunyi-sembunyi. Sebab, musisi jazz dan penggemarnya dihinggapi perasaan takut dituduh sebagai antek imperialis. 
Meskipun tidak ada larangan secara tertulis (resmi), ancaman tuduhan tersebut membuat musisi dan penggemar jazz merasa ketar-ketir sehingga perkembangan musik jazz di era 1960-an bisa dibilang lambat. Tapi hak itu tidak berlangsung lama. Setelah melewati masa-masa susah, tepatnya pada tahun 1967-an, para musisi jazz mulai menapak lagi. 
Gebrakan Indonesia All Stars 
Di tahun 1967, grup jazz Indonesia All Stars membuat kaget para pencinta musik jazz dunia karena berhasil tampil di ajang “Berlin Jazz Festival”. Saat itu, Indonesia All Stars, yang konon berlatih susah payah dengan segala keterbatasan, terdiri dari Bubi Chen (piano), Jopie Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drum), dan Maryono (saksofon). Lagu-lagu yang mereka suguhkan sangat unik sehingga saat itu disebut sebagai “jazz ala Indonesia”. Mereka juga mampu mengaransemen lagu Djanger Bali dan Ku Lama Menantimenjadi “ucapan penghargaan dan terima kasih” atas dukungan perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi keberangkatan Indonesia All Star. 
Di ajang “Berlin Jazz Festival” tersebut, Bubi Chen mendapatkan respons sangat positif dari para penulis jazz internasional. Ia lantas disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia dan mendapat gelar sebagai “Art Tatum of Asia”. Art Tatum bisa disebut sebagai salah satu pianis jazz terbesar yang pernah ada yang telah meninggal dunia di tahun 1956. 
Di kancah perjalanan musik Jazz tanah air, nama Margie Segers juga patut diperhitungkan. Dia seakan menjadi icon penyanyi jazz yang mewarnai industri musik Indonesia di era awal 70-an. Kepiawaiannya dalam membawakan lagu jazz patut dibanggakan, bahkan legenda musisi jazz Indonesia, Jack Lesmana, memuji suara Mergie yang bening dan berkarakter. Tak salah bila pada album “Siapa Bilang Sayang”, Jack Lesmana menggandeng Margie untuk melantunkan sejumlah tembang hasil karya beberapa musisi jazz Tanah Air, antara lain A. Ryanto, Charles Mercys, Bing Slamet, Narto Sabdo, dan Jack Lesmana sendiri. 
Memasuki dekade 70-an, kehidupan jazz Indonesia makin marak dan tampak mulai terpusat di beberapa kota besar. Di Jakarta, Jack Lesmana yang didukung penuh oleh sang istri, Nien Lesmana, menggelar jazz di panggung-panggung, terutama di areal Taman Ismail Marzuki, serta di layar kaca TVRI
Dari Indra Lesmana Hingga Chandra Darusman 
Pada 30-31 Mei 1976, dalam acara bertajuk “Jazz Masa Dulu dan Kini”, muncullah musisi belia dan musikus masa depan: Indra Lesmana, putra Jack Lesmana. Waktu itu, Indra Lesmana bermain piano di atas pangkuan Broery Marantika karena kakinya belum bisa menyentuh pedal piano. Pementasan “Jazz Masa Lalu dan Kini” tersebut kemudian direkam dan dirilis ke publik lalu dianggap sebagai rekaman live pertama di Tanah Air saat itu. Dalam rekaman tersebut, seperti juga dalam pementasannya, tampil para musisi papan atas seperti Bubi Chen, Benny Likumahuwa, Didi Tjia, Benny Mustapha, Abadi Soesman, Margie Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Termasuk pula Indra Lesmana dan kakak-beradik, Oele dan Perry Pattiselanno. 
Menyangkut rekaman, di tahun 70-an, Jack Lesmana juga kerap menghasilkan album rekaman jazz. Selain album solo, ia juga melahirkan album dari beberapa penyanyi seperti Margie Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Dan saat itu terdapat label rekaman Hidayat, sebagai label indie yang aktif memproduksi rekaman-rekaman jazz. Hidayat kemudian ditemani label lain bernama Pramaqua. 
Pada tahun 1977, Pramaqua merilis album Jopie Item Combo & Idris Sardi, yang antara lain didukung pula oleh musisi kawakan seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi Soesman (drum) dan Wempy Tanasale (bass). Album ini mengetengahkan duet permainan biola Idris Sardi dan raungan gitar Jopie Item. 
Jopie Item sejak pertengahan 1970-an muncul sebagai generasi lanjutan jazz Indonesia yang lumayan aktif bermain di pentas clubs dan TVRI. Grupnya waktu itu yang terkenal adalah Jopie Item Combo. Jopie juga bermain dengan Rully Johan atau Abadi Soesman. Sementara Abadi Soesman sendiri juga memiliki proyek jazz rock-nya yang lain dengan kelompok The Eternals, yang juga bermain di clubs
Di akhir 1970-an, tepatnya di 1978, berdirilah kafe bernama Green Pub di gedung Djakarta Theatre di pusat Kota Jakarta, yang lantas menjadi salah satu tempat trendy terpenting bagi pergerakan jazz di era 80-an. Waktu itu, yang tampil dalam grup yang memakai nama Gold Guys sebagai formasi perdana adalah Armand (keyboard), Djoko Waluyo Haryono (gitar), Dicky Prawoto (bass), Karim Suweilleh (drum), dan Embong Rahardjo yang kerap digantikan oleh Maryono (saksofon). Vokalisnya waktu itu adalah Jackie Bahasoean, vokalis jazz yang datang dari Surabaya.  
Perlu diingat pula, di akhir 70-an tersebut mulai terdeteksi pergerakan jazz di lingkungan kampus. Yang paling menonjol adalah Universitas Indonesia lewat para mahasiswa Fakultas Ekonominya. Pada waktu itu muncul Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya bernama Chaseiro yang antara lain didukung teman-teman sekampusnya seperti kakak beradik Helmie dan Rizali Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani, atau Omen. 
Fariz RM, Peter F. Gontha, dan Balawan 
Di akhir 1970-an juga muncul musisi muda lain Fariz Rustam Munaf. Fariz merilis album yang unsur jazz rock-nya lumayan tebal yaitu “Sakura” di tahun 1978. Fariz adalah wakil figur muda dari lingkungan SMA yang tampil ke permukaan meramaikan pergerakan jazz Indonesia, walaupun waktu itu ia lebih dipandang sebagai musisi dan penyanyi pop. 
Perjalanan panjang jazz juga tak akan lengkap tanpa kehadiran klub-klub jazz yang sempat bertaburan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Klub tersebut antara lain adalah Jamz milik pengusaha  penggila jazz yakni Peter F. Gontha. Kiprah Peter F. Gontha tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemajuan jazz di Tanah Air. Lewat koneksinya yang luas, ia mampu meyakinkan para musisi jazz kelas satu dunia untuk menggelar pertunjukan di Indonesia. Berkat jasanya pula, para musisi jazz Indonesia bisa bermain dievent-event jazz internasional. 
Di era tahun 1980-an selain pergelaran jazz lokal macam “Jazz Goes To Campus” yang sekarang sudah menjadi agenda rutin setiap tahun dan digelar di kampus UI, pada tahun 1988 juga terselenggara sebuah event jazz yang terbesar yang pernah digelar oleh anak negeri, yakni Jakarta International Jazz Festival atau yang lebih dikenal dengan nama Jak Jazz, atas gagasan Ireng Maulana. 
Perhelatan jazz akbar ini sungguh membanggakan karena diikuti oleh musisi jazz dunia, baik dari Amerika, Eropa, dan Asia. Tentu saja ratusan musisi jazz kita ikut bergumul sambil berkolaborasi satu panggung dengan musisi-musisi luar negeri. Musisi-musisi dari luar yang memeriahkan Jak Jazz pertama itu adalah Phil Perry, Lee Ritenour, Larry Corvell, Kazumi Watanabe, Frederick Noran Band, Igor Brill Ensemble. 
Di era tahun 2000-an jazz di Indonesia makin berkembang dengan sangat pesat, lihat saja grup-grup baru yang mengusung format musik jazz yang juga sukses secara komersial seperti Bali Lounge, Maliq & D’Essentials, Park Drive, Rieka Roeslan, dan Sova. Dan yang tak boleh dilupakan adalah munculnya Balawan, gitaris asal Bali yang permainannya selalu mendapat pujian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar